Seni pedalangan
yang telah disempurnakan sifatnya menjadi suatu pertunjukan yang didukung oleh
beberapa cabang kesenian lainnya, yang merupakan suatu pertunjukan yang serasi
dan utuh, disambut masyarakat Jawa Barat, seperti dahulu ketika seni pedalangan
disebarkan para Empujaman kebudayaan Hindu, yang disambut baik oleh masyarakat
pulau Jawa.
Bila kita
bicarakan seni pedalangan Jawa Barat, kita tidak dapat menetapkan dengan pasti perkembangan seni
pedalangan di Jawa Barat karena belum ada sumber-sumber keterangan
yang pasti, yang diketahui adalah bahwasannya wayang di Jawa Barat datang dari
Jawa Timur. Adapun adanya wayang golek purwa disebagian daerah Jawa Barat
adalah suatu peralihan wujud dari wayang kulit purwa Cirebon. Bukan hanya
bentuk saja melainkan sampai pada bentuk wajahnya pun dialihkan dari wayang
kulit, bahkan sampai pad acara penggarapannya. Menurut penjelasan M.A Salmun
dalam kitab pedalangan di Pasundan, wayang yang pertama di Jawa Barat dibawa
oleh Prabu Amiluhur yang kemudian menjadi raja Padjajaran dan berkedudukan di
Cirebon dengan julukan Prabu Maesa Tandreman.
Prabu Surya
Amiluhur adalah putra Prabu Surya Amsena Raja Mamenang di Jawa Timur yang
memerintah kira-kira abad ke 13 dan menyebarkan seni pewayangan di Jawa Barat,
yang wayangnya dibuat dari kulit kayu.
Orang Jawa Barat
sendiri tidak begitu yakin akan adanya penyebaran wayang pada abad ke 13 di
daerah Jawa Barat karena bukti-bukti yang menyatakan pada abad itu seni
pewayangan telah disebarkan tidak ada.Hal itu terjadi karena, menurut cerita
penduduk asli (suku Baduy) yang dianggap cikal bakal penduduk Jawa Barat belum
pernah mendengar adanya wayang pada abad ke 13. Peninggalan yang berupa wayang
tidak ada samasekali. Kemudian orang menduga bahwa dahulu pernah ada wayang
yang disebarkan oleh Prabu Maesa Tandreman, tapi hanya sebatas pada
ceritanyanya saja, yaitu Mahabarata dan Ramayana. Hal ini tentunya daerah Jawa
Barat pernah didatangi pengaruh kebudayaan Hindu.
Pada abad ke 14
cerita Ramayan dan Mahabarata telah dikenal masyarakat Jawa Barat karena pada
waktu itu dibawa bersamaan dengan penyebaran kebudayaan Hindu di Jawa Barat
kira-kira abad ke empat. Pada abad ke lima Fa Hien mendarat di pulau Jawa
menyatakan bahwa dijumpainya masyarakat yang kehindu-hinduan, artinya bahwa
pengaruh Hindu di Jawa Barat sangat besar sekali. Seperti halnya di Jawa Tengah
dan Jawa Timur pada jaman keemasan Hindu. Di Jawa Baratpun tersebar Epos Mitos
India yaitu Mahabarata dan Ramayana.
Dalam
perkembangannya dan penyebarluasanya banyak sekali kendala karena lalu lintas
yang pada waktu itu sukar dilalui, cerita Mahabarata dan Ramayana baru dikenal
secara benar-benar dari sumbernya pada abad ke-20 (itupun dari beberapa sumber
beritakarena cerita-cerita yang berupa kepustakaan belum banyak didapat dan
kalau memang ada adalah datang dari Surakarta dan Yogyakarta). Bahasa yang
digunakan dalam seni padalangan ialah bahasa Jawa yang masih asing bagi
masyarakat Jawa Barat.
Pada kira-kira
abad ke -18 dan 19 banyak bupati-bupati dan para pembesar yang mempelajari
bahasa Jawa, bahkan mereka datang pula ke Jawa Tengah untuk mempelajari bahasa.
Demikian pula beberapa dalang mempelajari bahasa Jawa agar rasa padalangan
dapat lebih luas lagi disebarkan dan dipelajari. Baru pada akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20, seni padalangan dapat disebarkan secara meluas di Jawa Barat.
Meluasnya penyebaran seni padalangan di Jawa
Barat disebabkan lalu lintas yang sudah mulai mudah untuk dilalui, bahasa Jawa
telah mulai dikenal oleh para penggarap seni Padalangan dan sebagian kecil
masyarakat, cerita Mahabarata dan Ramayan mulai digemari masyarakat Jawa Barat
terutama Mahabarata.
Yang perlu
dijelaskan disini adalah bahwa jalan pengembangan seni padalangan
di Jawa Barat umumnya di daerah Priangan khususnya dilakukan dari bawah ke
atas. Artinya adalah bahwa padalangan berlangsung dari lingkungan masyarakat
dan tembus ke Pendopo Kabupaten, yang akhirnya sering pula seni padalangan
dipentaskan di Kabupaten. Bahkan bapak Kayat, salah seorang dalang yang hidup
pada akhir abad ke-19 mendapat bintang dari Bupati Bandung sehingga namanya
dalam lingkup seniman padalangan adalah dalang bintang. Oleh karena itu, sifat
kerakyatan dalam pagelaran-pagelaran wayang sangat menonjol.
Menurut
keterangan dari beberapa dalang sepuh, dalang yang pertama di Bandung adalah
seorang perempuan asal Pekalongan
bernama Ambu Kasrem, yang kemudian diteruskan oleh bapak dalang Dipaguna dan
bapak Artamad yang betempat di Karapyak sebelah selatan Kota Bandung, yang
kira-kira tahun 1800 menjadi pusat ibukota Kabupaten Bandung yang memakai wayang
buatan bapak Ardi (terbuat dari kayu), yang bentuknya lebih besar sedikit
dibandingkan dengan wayang ukuran Kidang Kancana dan rautannya belum sehalus
sekarang.
Menurut beberapa
sumber wayang golek purwa dibuat sesuai dengan wujud wayang kulit, wayang golek
pertama datang ke Bandung berasal dari daerah Cirebon pula.
Dalang Dipaguna
mewariskan kepandaian mendalangnya kepada dalang Panji, dalang Suanda, dan
dalang Kayat yang pernah mendapat bintang anugrah dari Bupati. Kemudian ketiga
dalang tersebut menyebarkan pula kepada dalang Koncar yang menyebarkan seni
padalangan itu di daerah timur sampai daerah Ciamis, dalang Mendo
menyebarkannya di daerah Karawang dan sepanjang daerah pantai utara Jawa Barat,
dalang Isra menyebarkan di daerah sebelah barat seperti Sukabumi dan Bogor
sampai ke daerah Rangkasbitungdi daerah Banten, sedangkan dalang Djohari
menyebarkan seni padalangan di daerah Bandung.
Ada pendapat
lain bahwa dalang perama di Jawa Barat adalah Bapak Djulaecha, seorang dalang
dari Pekalongan, kira-kira awal abad 18, dihubungkan dengan keterangan mengenai
dalang pertama di Bandung, yaitu Ambu Kasrem, orang menduga bahwa yang
mula-mula menyebarkan wayang purwa di Jawa Barat adalah bapak Djulaecha dan
Ambu Kasrem yang keduanya berasal dari Pekalongan.
Sejak saat itu
perkembangan wayang golek purwa berkembang dengan pesat, dan Bandung menjadi
pusat penyebaran keseluruh Jawa Barat.
Pendapat lain
mengatakan bahwa penyebaran wayang golek purwa di Priangan Timur seperti di
Ciamis, adalah perembesan dari Banyumas. Hal itu mungkin pula terjadi karena
Kabupaten Ciamis berbatasan dengan daerah Cilacap dan memang banyak sekali seni
padalangan yang berbahasa Banyumasan terdapat di daerah Ciamis bagian timur.
Penyebaran seni
padalangan Jawa Barat pada permulaanya adalah melalui jalan utara, dari Demak
ke Cirebon dan menyebar ke daerah pantai Laut Jawa sampai ke daerah Banten dank
e selatan ke daerah Sumedang. Melalui jalan selatan, dari Banyumas ke daerah
Ciamis dengan lokasi spenjang sungai Citanduy.
Penyebaran seni
padalangan di Jawa Barat mempunyai dua gaya yaitu gaya Cirebon dan Bayumasan,
keduanya bersumber pada wayang daerah Surakarta dan Yogyakarta. Adapun gaya
yang terdapat di daerah Bandung, Bogor, dan Karawang adalah gaya yang
disesuaikan dengan adat kebiasaan masyarakat setempat. Penyebaran wayang golek
purwa sangat pesat ini disebabkan karena wayang golek purwa Sunda lebih dapat
menirukan gerak manusia karena berbentuk tiga dimensi. Bahan kayu lebih mudah
dan murah dibandingkan dengan bahan kulit. Wayang golek purwa Sunda dapat
dipentaskan pada siang dan malam hari.
0 Comments