Adalah wajar apabila timbul sementara
keresahan terhadap kemungkinan lenyapnya nilai-nilai budaya tradisional karena
tergeser nilai-nilai baru yang menyusup bersama berkembangnya teknologi modern.
Nilai-nilai baru yang menciptakan sistem, dan kemudian membentuk pola pikir,
yang selanjutnya akan mempengaruhi sikap. Adalah wajar pula apabila generasi
sekarang kemungkinan daya tanggap dan apresiasi seninya kian menipis, sebab apa
yang disajikan tidak sesuai lagi dengan pola pikir mereka. Maka tidaklah aneh
jika anak-anak muda sekarang kurang minat terhadap pedalangan/pewayangan.
Kita tidak bisa menyalahkan mereka, justru
dari sudut ini dunia pedalangan/pewayangan haruslah memiliki inovasi yang
lebih-lebih demi menarik kembali minat-minat generasi muda untuk mau
mengapresiasi wayang. Karena dalam dunia pedalangan/pewayangan terdapat banyak
sekali simbol siloka yang apabila kita dapat memahaminya dengan sepenuh jiwa. Pada
era sekarang pendidikan bisa didapat darimana saja, termasuk dalam sebuah
pertunjukan wayang. Dalam sebuah pertunjukan wayang dari awal mula sampai akhir
pertunjukan itu banyak sekali ilmu yang bisa didapatkan, dalam artian
pertunjukan wayang ini syarat akan pendidikan.
Seni wayang lahir karena proses
penyembahan/pemujaan kepada roh leluhur. Kata wayang itu sudah menunjuk makna,
yaitu wa = sinar, bara api, matahari, awa = terang, bercahaya. Sedang Hyang
adalah kata sebutan untuk sesuatu yang disembah atau dipuja, termasuk roh
leluhur. Jadi wayang adalah sinarnya atau gambaran atau bayanganya roh leluhur.
Dalam upacara pemujaan, gambaran roh itu di wujudkan dalam pahatan pada kulit
binatang, arca kayu atau batu, dengan penerangan lampu, persembahan sesaji
serta diiringi nyanyian puja-puji.
Upacara itu dipimpin oleh seorang yang
dianggap suci, sakti yang dimuliakan dengan sebutan danghyang (dalang,
datu,tawang,seman, atau parewangan). Orang inilah yang bertindak sebagai
perantara (mediator) menyampaikan puji sembah dan permohonan kepada roh leluhur
atas perlindungannya. Kemudian pada perkembangan lebih lanjut, masyarakat
percaya bahwa roh leluhur di alam sana membentuk sebuah kehidupna bermasyarakat
seperti halnya yang masih hidup di dunia fana., mengalami persamaan suka dan
dukadan sebagainya. Maka untuk menggambarkannya dibuatlah arca, boneka atau gambar
yang disebut wayang itu lebih dari satu. Upacara pemujaan lambat laun berubah
sedikit demi sedikit menjadi sebuah pentas pertunjukan teater atau sandiwara
dengan membawakan cerita-cerita mitos tentang nenek moyang yang berkembang di
masyarakat pada kala itu.
Masuknya
kebudayaan Hindu dan Budha dari India, membawa pengaruh besar pada wayang.
Karya sastra Mahabarata dan Ramayana dijadikan sumber cerita yang dicampur
dengan cerita mitos yang sudah berkembang dimasyarakat. Bentuk wayangpun
mengalami perubahan dan tambahan disesuaikan dengan tokoh dan cerita yang
dibawakan. Pada masa Hindu, perkembangan seni wayang sangatlah pesat seiring
dengan berkembangnya kesusastraan. Banyak pujangga keratin yang menyadur kedua
buku sastra tersebut, seperti Arjuna Wiwaha, Bratayudha, Arjuna Wijaya,
Gatotkacasraya dan lain-lain. Banyak sekali lakon-lakon yang dibawakan dalam
pertunjukan wayang yang menyadur cerita dari kitab Mahabarata dan Ramayana
tersebut.
Politik menggalakan penulisan karya sastra
dan wayang ini memang merupakan program dari pemangku kekuasaan pada zaman itu
sebagai alat berkomunikasi dengan rakyatnya. Melalui media sastra dan wayang
para pemangku kekuasaan pada zaman itu menanamkan keada rakyatnya bahwa raja
adalah titisan desa, sakti berbudi luhur dan sebagainya, seperti digambarkan
dalam cerita. Dengan demikian maka dalam hati rakyatnya tertanamlah mental
takut, setia kepada raja, setia yang membabi buta, sikap rendah diri, selalu
menyanjung dan memuji sang raja, dan sikap tidak percaya kepada diri sendiri.
Maka jika rakyatnya memiliki mental seperti itu maka kedudukan dan kewibawaan
raja akan tetap teguh. Kala itu pemangku kekuasaan menyadari bahwa merubah
mental dan kepercayaan masyarakat sangatlah sulit, disamping itu mental
kesetiaan rakyat kepada raja harus tetap terjaga. Oleh karena itu gambaran
serba super dan gaib dari raja dan penguasa lainnya terus dikembangkan. Para
pujangga banyak menulis buku yang mengagung-agungkan raja. Kekuasaan hindu
surut dan diganti dengan kekuasaan Islam, wayang tetap memiliki fungsi.
Sekalipun raja memeluk agama islam, tapi membiarkan wayang terus berkembang
dengan membawakan campuran cerita antara mitos kuno tradisional dengan epos
Ramayana Mahabarata.
Dalam ajaran Islam, tidak mengenal kasta,
semua muslim bersaudara, bahkan konon ketika zaman para wali, keberadaan wayang
ini disempurnakan mulai dari bentuk wayang, cerita, kesusastraan, bahkan sarana
dan penyajian pementasannya seperti yang kita kenal sekarang. Hal ini menjadi
sangat penting karena dengan sebuah pengemasan pertunjukan yang menarik, maka
masyarakatpun akan lebih tertarik untuk melihat pertunjukan wayang tersebut.
Para wali sudah sangat memperhitungkan strategi untuk mengajak masyarakat agar
mau memeluk agama Islam, sehingga kono pada kala itu tiket untuk menonton
sebuah pertunjukan wayang adalah dengan menguncap dua kalimat Syahadat, setelah
mengucap barulah masyarakat dapat menonton pertunjukan wayang tersebut.
Penyampaian ajaran Islam yang dibalut dalam sebuah pertunjukan wayang, dimana
disetiap lakon tetap mempertahankan keaslinya tetapi juga ditambah dengan
ajaran-ajaran Islam, sehingga mudah untuk diserap oleh masyarakat pada kala
itu.
Kitab-kitab yang ditulis oleh para
pujangga inilah yang dijadikan pakem dalam pawayangan, disamping Ramayana dan Mahabarata
yang sudah diadaptasi terutama di pulau Jawa, maka seiring dengan hal itu
munculah tokoh-tokoh yang merepresentasikan masyarakat dalam sebuah lakon
wayang. Maka munculah tokoh sepperti Semar, Astrajingga/Cepot/Bagong,
Dawala/Petruk dan Gareng. Keempat tokoh ini adalah representasi dari keadaan
masyarakat, sehingga dalam sebuah pertunjukan wayang kehadiran tokoh-tokoh ini
sangat dinantikan. Sifat pembawaan dalam pertunjukan wayang para tokoh ini sangat
humoris tetapi juga sangat pintar, tidak terkecuali dalam penyampaian
kritik-kritik terhadap suatu kebijakan para tokoh inilah yang selau terdepan
menyampaikannya, maka dari itu para tokoh inipun disebut dengan Panakawan.
Sudah sejak lama para dalang, seniman,
bahkan para pecinta wayang ini memikirkan bagaimana seni pawayangan ini lestari
dan mampu menjawab tantangan jaman. Sudah banyak kreasi baru diperkenalkan dan
ditampilkan dalam pertunjukan wayang. Hal ini ditujukan agar seni pawayangan
tetap eksis dikalangan masyarakat. Maka dari itu tugas seorang dalang
sebetulnya sangatlah berat selain harus mahir memainkan wayang, dalang juga
harus mahir dalam karawitan, harus paham bahasa kawi karena sebagian bahasa
pawayangan adalah bahasa kawi, harus memiliki perbendaharaan lakon/cerita
pawayangan yang sangat banyak. Disamping itu seorang dalang harus pula pandai
dalam ilmu agama, ilmu kebatinan, harus selalu update pengetahuan yang
berkembang dimasyarakat. Seorang dalang juga harus memiliki krativitas yang
tinggi, harus memilik inovasi-inovasi yang menarik untuk diterapkan dalam
sebuah pertunjukan wayang.
Faktor lainnya agar supaya seni pawayangan
ini tetap lestari dan diterima bahkan bisa sampai dicintai kembali oleh
kalangan muda, tidak tergerus oleh kemajuan zama dan invasi budaya-budaya dari
luar. Peran penting pemerintah utuk memberikan lahan, dalam artian mendukung
setiap pergerakan seni pawayangan ini dengan anggaran khusus untuk
kesejahteraan para senimannya, dan juga untuk keperluan lainnya seperti
kelengkapan gamelan kelengkapan wayang dan aksesoris-aksesoris lainnya yang
dibutuhkan dalam pertunjukan seni wayang. Mengadakan pelatihan bagi
dalang-dalang muda untuk lebih memotivasi mereka agar konsisten, inovatif dan
kreatif dalam memajukan seni pewayangan.
0 Comments